Selasa, 22 Desember 2009

SANG PEMIMPI

Karya Andrea Hirata
Cetakan Pertama, Juli 2006
Penyunting: Imam Risdiyanto
Desain dan ilustrasi sampul: Andreas Kusumahadi
Pemeriksa aksara: Yayan R.H.
Penata aksara: lyan Wb.
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
Anggota IKAPI
(PT Bentang Pustaka)
Jin. Pandega Padma 19,Yogyakarta 55284


Mozaik 1
What a Wonderful World
Daftar Isi Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat
kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di atasnya, langit
terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi
cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan
ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja,
mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut
dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati kutu.
Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju.
Berjingkat-jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang
merebak dari peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa takut.
Jimbron yang tambun dan invalid kakinya panjang sebelah terengah-engah di belakangku. Wajahnya
pias. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilat-kilat. Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruh
kejadian ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. la lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam
situasi apapun, Arai selalu menyedihkan. Kami bertiga baru saja berlari semburat, pontang-panting lupa
diri karena dikejar-kejar seorang tokoh paling antagonis. Samar-samar, lalu semakin jelas, suara langkah
sepatu terhunjam geram di atas jalan setapak yang ditaburi kerang-kerang halus. Kami mengendap.
Tersengal Arai memberi saran. Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. "Ikal.... Aku tak kuat
lagihhh.... Habis sudah napasku.... Kalian lihat para-para itu...?"
Aku menoleh cepat. Dua puluh meter di depansana teronggok reyot pabrik cincau dan para-para
jemuran daun cincau. Cokelat dan doyong. Di berandanya, dahan-dahan bantan merunduk kuyu
menekuri nasib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja . Salah satunya aku kenal : Laksmi . Seperti
laut, mereka diam . DangdutIndia dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk-liuk pilu dari pabrik itu.
"Lompati para-para itu, menyelinap ke warung A Lung, dan membaur di anta a para pembeli tahu, aman
...."

Aku meliriknya kejam. Mendengar ocehannya, ingin rasanya aku mencongkel gembok peti es untuk
melempar kepalanya.
"Hebat sekali teorimu, Rai! Tak masuk akal sama sekali! Jimbron mau kau apakan??!!"
Jimbron yang penakut memohon putus asa.
"Aku tak bisa melompat, Kal...."
Lebih tak masuk akal lagi karena aku tahu di balik para-para itu berdiri rumah turunan prajurit Hupo,
Tionghoa tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang saudara. Ratusan tahun mereka
menanggungkan sakit hati sebab kalah bertikai. Dulu, bersama Cina Kuncit, mereka jadi antek Kumpeni,
ganas menindas orang-orang Kek. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati Belanda, dan dijauhi orang
Melayu membuat mereka selalu curiga pada siapa pun. Tak segan mereka melepaskan anjing untuk
mengejar orang yang tak dikenal. Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron, dan Arai
tinggal di salah satu los di pasar kumuh ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami menjadi
kuli ngambat tukang pikul ikan di dermaga. Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana
mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasi
sekeliling. Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless,
menciptakan pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudut
gelap yang pengap. Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai. Mendung
menutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak berhenti sampai jauh malam,
demikian dikota pelabuhan kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun depan.
Semuanya gara-gara Arai. Kureka perbendaharaan kata kasar orang Melayu untuk melabraknya. Tapi
lamat-lamat berderak mendekat suara sepatu pantofel. Aku mundur, tegang dan hening, keheningan
beraroma mara bahaya. Arai menampakkan gejala yang selalu ia alami jika ketakutan: tubuhnya
menggigil, giginya gemeletuk, dan napasnya mendengus satu-satu. Bayangan tiga orang pria berkelebat,
memutus sinar stainless tadi dan sekarang pemisah kami dengan nasib buruk hanya beberapa keping
papan tipis. Ketiga bayangan itu merapat ke dinding, dekat sekali sehingga tercium olehku bau keringat
seorang pria kurus tinggi bersafari abu-abu. Ketika ia berbalik, aku membaca nama pada emblem hitam
murahan yang tersemat di dadanya: MUSTAR M. DJAI'DIN, B.A.
Aku tercekat menahan napas. Sebelah punggungku basah oleh keringat dingin. Dialah tokoh antagonis
itu. Wakil kepala SMA kami yang frustrasi berat. Ia Westerling berwajah tirus manis. Bibirnya tipis,
kulitnya putih. Namun, alisnya lebat menakutkan. Sorot matanya dan gerak-geriknya sedingin es. Berada
dekat dengannya, aku seperti terembus suatu pengaruh yang jahat, seperti pengaruh yang timbul dari
sepucuk senjata.
Pak Mustar menyandang semua julukan seram yang berhubungan dengan tata cara lama yang keras
dalam penegakan disiplin. Ia guru biologi, Darwinian tulen, karena itu ia sama sekali tidak toleran. Lebih
dari gelar B.A. itu ia adalah suhu tertinggi perguruan silat tradisional Melayu Macan Akar yang ditakuti.
"Berrrrandalll!!"
Ia menekan dengan gusar hardikan khasnya, menjilat telunjuknya, dan menggosok-gosokkan telunjuk itu
untuk membersihkan emblem namanya yang berdebu. Aku melepaskan napas yang tertahan ketika ia
membalikkan tubuh.
Sebenarnya Pak Mustar adalah orang penting. Tanpa dia, kampung kami tak 'kanpernah punya SMA. la
salah satu perintisnya. Akhirnya, kampung kami memiliki Sebuah SMA, sebuah SMA Negeri! Bukan
main! Dulu kami harus sekolah SMA ke Tanjong Pandan, 120 kilometer jauhnya. Sungguh hebat SMA
kami itu, sebuah SMA Negeri! Benar-benar bukan main! Namun, Pak Mustar berubah menjadi monster
karena justru anak lelaki satu-satunya tak diterima di SMA Negeri itu. Bayangkan, anaknya ditolak di
SMA yang susah payah diusahakannya, sebab NEM anak manja itu kurang 0,25 dari batas minimal.
Bayangkan lagi, 0,25! Syaratnya 42, NEM anaknya hanya 41,75.
Setelah empat puluh tahun bumi pertiwi merdeka akhirnya Belitong Timur, pulau timah yang kaya raya
itu, memiliki sebuah SMA Negeri. Bukan main. SMA ini segera menjadi menara gading takhta tertinggi
intelektualitas di pesisir timur, maka ia mengandung makna dari setiap syair lagu "Godeamus Igitur" yang
ketika mendengarnya, sembari memakai toga, bisa membuat orang merasa IQ-nya meningkat drastis
beberapa digit.
Pemotongan pita peresmian SMA ini adalah hari bersejarah bagi kami orang Melayu pedalaman, karena
saat pita itu terkulai putus, terputus pula kami dari masa gelap gulita matematika integral atau tata cara
membuat buku tabelaris hitung dagang yang dikhotbahkan di SMA. Tak perlu lagi menempuh 120
kilometer ke Tanjong Pandan hanya untuk tahu ilmu debet kredit itu. Karena itu berbondong-bondonglah
orang Melayu, Tionghoa, Sawang, dan orang-orang pulau berkerudung ingin menghirup candu ilmu di
SMA itu. Tapi tak segampang itu. Seorang laki-laki muda nan putih kulitnya, elok parasnya, Drs. Julian
Ichsan Balia, sang Kepala Sekolah, yang juga seorang guru kesusastraan bermutu tinggi, di hari
pendaftaran memberi mereka pelajaran paling dasar tentang budi pekerti akademika.
"... Ngai mau sumbang kapur, jam dinding, pagar, tiang bender a ...," rayu seorang tauke berbisik agar
anaknya yang ber-NEM 28 dan sampai tamat SMP tak tahu ibukota provinsinya sendiri Sumsel,
mendapat kursi di SMA BukanMain .
"Aha! Tawaran yang menggiurkan!!" Pak Balia meninggikan suaranya, sengaja mempermalukan tauke itu
di tengah majelis. "Seperti Nicholas Beaurain digoda
berbuat dosa di bawah pohon?! Kau tahu 'kankisah itu? 'Gairah Cinta di Hutan'? Guy de Maupassant?"
Sang tauke tersipu. Dia hanya paham sastra sempoa. Senyumnya tak enak.
"Bijaksana kalau kausumbangkan jam dindingmu itu ke kantor pemerintah, agar abdi negara disana tak
bertamasya ke warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana pendapatmu?"
Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi raja hantu. Dan saat itulah Pak Mustar, sang
jawara yang temperamental, tak kuasa menahan dirinya. Tanpa memedulikan situasi, di depan orang
banyak ia memprotes Pak Balia, atasannya sendiri.
"Tak pantas kita berdebat di depan para orangtua murid. Bicaralah baik-baik ...," bujuk Pak Balia.
Pak Mustar yang merasa memiliki SMA itu menatapnya dari atas ke bawah, artinya kurang lebih, "...
Sok idealis. Anak muda bau kencur, tahu apa ...." Benar saja.
"Saya berani bertaruh, angka 0,25 tidak akan membedakan kualifikasi anak saya dibanding anak-anak
lain yang diterima, apalah artinya angka 0,25 itu?!"
Anak saya, kata-kata yang ditindas kuat oleh Pak Mustar. Semua keluarga, dari suku mana pun,
menyayangi anak. Namun, anak lelaki bagi orang Melayu lebih dari segala-galanya, sang rembulan,
permata hati. Ayahku, yang mengantarku saat pendaftaran itu, berusaha membekap telingaku dan telinga
Arai, anak angkat keluarga kami, agar tak mendengar pertengkaran yang sungguh tak patut ini. Tapi aku
mengelak. Maka kudengar jelas argumen cerdas Pak Balia, "0,25 itu berarti segala-galanya, Pak. Angka
kecil seperempat itu adalah simbol yang menyatakan lembaga ini sama sekali tidak menoleransi
persekongkolan!!"
Tersinggung berat, Pak Mustar muntab dan sertamerta memprovokasi, "Bagaimana para orangtua??
Setuju dengan pendapat itu?!" la petantang-petenteng hilir mudik sambil bertelekan pinggang.
"Tanpa saya SMA ini tak 'kanpernah berdiri!! Saya babat alas di sini!!"
Pak Balia, memang masih belia, tapi ia pengibar panji ahlakul karimah. Integritasnya tak tercela. Ia
seorang bumiputra, amtenar pintar lulusan IKIP Bandung. Baginya ini sudah keterlaluan, merongrong
wibawa institusi pendidikan! Guru muda ganteng ini jadi emosi.
"Tak ada pengecualian!! Tak ada kompromi, tak ada katebelece, dan tak ada akses istimewa untuk
mengkhianati aturan. Inilah yang terjadi dengan bangsa ini,
terlalu banyak kongkalikong!!"
Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi Pak Balia telanjur jengkel.
"Seharusnya Bapak bisa melihat tidak diterimanya anak Bapak sebagai peluang untuk menunjukkan
pada khalayak bahwa kita konsisten mengelola sekolah ini. NEM minimal 42, titik!! Tak bisa
ditawar-tawar!!"
Pidato itu disambut tepuk tangan para orangtua. Jika wakil rakyat berwatak seperti Pak Balia, maka
republik ini tak 'kanpernah berkenalan dengan istilah studi banding. Namun, akibatnya fatal. Setelah
kejadian itu, Pak Mustar berubah menjadi seorang guru bertangan besi. Beliau menumpahkan
kekesalannya kepada para siswa yang diterima.
"Disiplin yang keras!! Itulah yang diperlukan anak-anak muda Melayu zaman sekarang." Demikian
jargon pamungkas yang bertalu-talu digaungkannya.
la juga selalu terinspirasi kata-kata mutiara Deng Xio Ping yang menjadi pedoman tindakan represif
tentara pada mahasiswa di Lapangan Tiannanmen, "Masalah-masalah orang muda seperti akar rumput
yang kusut. Jika dibiarkan, pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan dengan gunting yang tajam!!"
Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar
sekolah. Beliau berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya banyak siswa yang terlambat,
termasuk aku, Jimbron, dan Arai. Lebih celaka lagi beberapa siswa yang terlambat justru mengejek Pak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar